JOMBANG, KOMPAS.com — Suparni adalah potret
kebanyakan dari perempuan yang terjerumus ke prostitusi. Ia miskin
papa. Beruntung, sebelum jauh terjerumus, Suparni sudah insaf.
Dulu, ketika masih jadi “orang nakal”, dapat duit gampang dan jumlahnya cukup banyak. Tapi selalu cepat habis tak berbekas.
– Suparni
Kini, dalam usia 60 tahun, Suparni adalah tukang cuci baju dan
pemijat. Yang lebih menyentuh lagi, dia aktivis sebuah majelis Yasinan
di desanya, Kepuhkembeng, Kecamatan Peterongan, Jombang, Jawa Timur.
Siapa pun tentu tak pernah bercita-cita menjadi pelacur, profesi
yang disebut dengan macam-macam sebutan; kupu-kupu malam, wanita tuna
susila, perempuan eksperimen, dan pekerja seks komersial. Belum lagi
yang sangat kasar dalam aneka bahasa daerah di Indonesia.
Tetapi, inilah potret seorang Suparni, si kupu-kupu malam yang
bertobat. Malam itu, setelah selesai memijat pelanggannya, berceritalah
Suparni tua tentang Suparni muda.
Ia menikah cepat, bercerai dengan segera pula. Suaminya dari Desa
Mojongapit, Kecamatan Jombang Kota. Ketika bercerai pada tahun 1950-an
itu, usianya baru 19 tahun. Jakarta tentu sedang sibuk dengan
jargon-jargon besar di bawah bendera revolusi.
Suparni memang masih punya orangtua, Ngatemo-Sampiran, tetapi mereka
hanya penjual kacang keliling. Suparni tak bisa diam ketika melihat
orangtuanya lebih sering hanya makan sekali dalam sehari. Dia bertekad
membantu.
Namun, dengan pendidikan formal tak lulus SD, Suparni menyadari
dirinya tak bisa bekerja di pabrik. Jalan pintas pun ditempuh. Diantar
orangtuanya, dia nekat menumpang angkutan menuju Watutulis, Sidoarjo.
Suparni mengenang, di Watutulis saat itu ada lokalisasi kelas bawah
berupa warung remang-remang. “Sekarang mungkin sudah tidak ada,” kata
Suparni.
Watutulis adalah wilayah tua yang mulai ramai berkat baron-baron
Eropa mendirikan pabrik gula menjelang rampungnya abad 19. Lazim
terjadi, prostitusi marak di sekitar orang ramai macam pabrik gula.
Sejarah memberitahu, pabrik-pabrik gula segera bertebaran setelah
Gubernur Jenderal Belanda Van Den Bosch pada 13 Agustus 1830 setuju
penanaman tebu besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pabrik gula di sana masih berdiri sampai sekarang, nama resminya PG
Watoetoelis. Ia tak terlalu jauh dari PG Toelangan, Sidoarjo, yang
dipakai Pramoedya Ananta Toer untuk setting novel masyhurnya, Bumi Manusia.
Adapun Suparni tak mengais uang dengan jual tubuh di sana.
Selanjutnya, dia berpindah-pindah lokalisasi. Mula-mula lokalisasi
Jarak di Surabaya, kemudian lokalisasi Balongcangkring asuhan mendiang
Suwono Blong di Mojokerto. Itu dilakoninya hingga tahun 1975.
Yang unik, di kompleks mana pun dia berpraktik, hampir tiap hari Suparni selalu pulang ke rumahnya di Jombang.
“Saya berangkat dengan menumpang truk sore hari, dan pulang ke rumah
subuh. Kalau kebetulan hujan, saya berpayung daun pisang diantar bapak
sampai di tepi jalan untuk mencegat truk yang lewat,” katanya.
Cara itu dilakukan karena dia setiap hari harus menyerahkan uang
hasil kerjanya kepada orangtuanya, dan demi merawat dua keponakannya
yang masih kecil, yang ikut di rumah kedua orangtuanya.
Suparni mengaku cukup “laris” di mana pun dia berpraktik.
Rahasianya, dia hampir selalu memberikan servis lebih kepada laki-laki
hidung belang konsumennya.
“Kalau habis main, biasanya saya pijat tubuhnya,” kata Suparni
membeberkan rahasianya. Itu sebabnya, imbuh Suparni, laki-laki hidung
belang yang sudah pernah dilayaninya, bukan hanya satu kali datang,
melainkan beberapa kali.
Aktivitas jual jasa seks di kompleks-kompleks PSK mulai dihentikan
akhir tahun 1970-an. Namun, aktivitas prostitusinya jalan terus. Sebab,
saat itu dia punya gendhakan tetap, seorang pengemudi truk angkutan minyak tanah asal Ambon yang berdomisili di Jombang.
“Saya biasanya diajak ke rumahnya. Kebetulan dia tidak punya istri, perjaka tua,” imbuh Suparni.
Tetapi, itu tak berlangsung lama. Tahun 1980, dia mendadak terserang
diare kronis, hingga harus digotong ke rumah sakit. Dia sempat mengira
ajal akan segera menjemputnya. Saat itulah dia menyadari dirinya
bergelimang dosa, sedangkan bekal untuk mati sama sekali belum ada.
Dalam keadaan sakit, Suparni lantas berjanji dalam hati untuk
menghentikan pekerjaannya yang penuh dosa dan akan kembali ke jalan
yang diridai Allah setelah sembuh.
Awalnya, niat kembali ke jalan yang benar itu tidak gampang
dilakoni. Banyak godaan yang berupaya untuk membawanya kembali ke dunia
hitam.
Gendhakan-nya sendiri, misalnya, ngotot agar Suparni tetap bekerja seperti sedia kala. Bahkan, si gendhakan berjanji akan segera menikahinya jika Suparni tetap menjalani profesinya.
“Tapi saya tak percaya. Masak mau memperistri, tapi kok juga menjerumuskan. Saya lantas meninggalkan dia,” tutur Suparni.
Dari para tetangga, cibiran-cibiran dan kecurigaan juga muncul
tatkala Suparni mulai banting setir dengan bekerja serabutan, mulai
cuci baju, bersih-bersih rumah, serta ikut membantu tetangga menyiapkan
sate ayam untuk dijual keliling.
“Tapi, saya berusaha sabar. Bagi saya waktu itu, apa pun pekerjaan
akan saya lakukan asalkan halal. Tak peduli apa omongan orang,”
katanya.
Akhirnya, karena kesungguhan Suparni untuk kembali ke jalan yang
benar, masyarakat di desanya mulai menaruh kepercayaan. Mereka yang
tahu Suparni juga bisa memijat, mulai memakai jasanya.
Karena pijatannya manjur untuk mengatasi pegal linu dan capek, nama
Suparni jadi dikenal sehingga permintaan pijat cukup banyak
berdatangan. Sekali memijat, Suparni biasanya dibayar Rp 20.000 sampai
Rp 25.000.
Permintaan pijat berasal dari warga tetangga sedesa ataupun warga
desa lain. Para pelanggannya ada yang profesi tukang becak, ibu rumah
tangga, ustaz, ustazah, sampai pegawai bank, guru, dan dosen.
“Kalau ada pelanggan di luar desa, biasanya saya dibonceng sepeda motor oleh kerabat atau anaknya,” jelas Suparni.
“Tidak tahu, selalu saja tiap hari ada orang yang minta dipijat.
Saya jadi percaya, asalkan kita sungguh-sungguh bekerja dan pekerjaan
itu halal, Tuhan akan memberi kita rezeki,” katanya.
Suparni juga merasakan, rezeki yang halal ternyata membawa barokah.
Sekarang, meskipun sedikit-sedikit, dia bisa menabung. Padahal,
sehari-hari dia pun turut membantu ekonomi keluarga keponakannya yang
tinggal bersamanya saat ini.
“Dulu, ketika masih jadi ‘orang nakal’, dapat duit gampang dan
jumlahnya cukup banyak. Tapi selalu cepat habis tak berbekas,” katanya.
Seiring dengan itu, aktivitas ibadahnya juga kian ditingkatkan, baik
ibadah pribadi seperti shalat lima waktu berjemaah di mushala dusun
setempat maupun aktif menjadi majelis Yasinan. Seorang tetangganya
mengatakan, dia tak pernah melihat Suparni absen di pengajian.
Kalau malam tiba, jika lagi tidak ada kegiatan atau panggilan pijat,
dia memilih nongkrong di depan pesawat televisi. Hobinya memang nonton
sinetron religi Ketika Cinta Bertasbih.